Seorang Sahabat Rasul Menyesal saat menghadapi Sakaratul Maut. - Fuji Astuty

Jumat, Mei 03, 2019

Seorang Sahabat Rasul Menyesal saat menghadapi Sakaratul Maut.

Kini aku mulai sadar, sahabat-sahabat Rasulullah orang yang memiliki keimanan seperti apa. Bila dibandingkan dengan diriku, tentu tidak ada apa-apanya. Kisah ini, kutulis ulang, untuk mengingatkan diriku ini dan semoga bermanfaat bagi orang yang membacanya.


Sya’ban ra merupakan salah seorang sahabat Rasulullah. Ia memiliki kebiasaan yang unik. Ia datang ke masjid sebelum waktu shalat berjamaah. Ia selalu mengambil posisi di pojok Mesjid di setiap shalat berjamaah dan I’tikaf. Alasannya, selalu mengambil posisi di pojok masjid karena ia tidak ingin mengganggu atau menghalangi orang lain yang akan melakukan ibadah di masjid. Kebiasaan ini, sudah dipahami oleh semua orang bahkan Rasulullah sendiri.

Pada suatu pagi, saat shalat Subuh berjamaah akan dimulai, Rasulullah SAW merasa heran karena tidak melihat Sya’ban ra pada posisi seperti biasanya. Rasul pun bertanya kepada jamaah yang hadir, apakah ada yang melihat Sya’ban? Tapi, tidak ada satu orang pun yang melihat Sya’ban ra.
Selesai shalat Subuh Rasul pun bertanya lagi “Apakah ada yang mengetahui kabar Sya’ban?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawab.

Rasul pun bertanya lagi “Apa ada yang mengetahui dimana rumah Sya’ban. Kemudian Rasulullah bersama para sahabat pergi ke rumah Syah’ban. Perjalanan dari masjid ke rumah Sya’ban cukup jauh dan memakan waktu lama terlebih mereka menempuh dengan berjalan kaki.

Akhirnya, Rasulullah dan para sahabat sampai di rumah Sya’ban pada waktu shalat Dhuha (kira-kira 3 jam perjalanan). Sampai di depan rumah Sya’ban, beliau mengucapkan salam dan keluarlah wanita sambil membalas salam.

“Benarkah ini rumah Sya’ban?” Tanya Rasulullah.
“Ya benar, ini rumah Sya’ban. Saya istrinya.”  Jawab wanita tersebut.
“Bolehkah kami menemui  Sya’ban  ra, yang  tidak hadir shalat Subuh  di masjid pagi ini?” ucap Rasul. 
“Innalillahi Wa innailaihi roji’un”  jawab semuanya.
Satu-satunya penyebab Sya’ban tidak hadir shalat Subuh  di masjid adalah karena ajal menjemputnya. Beberapa saat kemudian, istri Sya’ban ra bertanya “Ya  Rasulullah ada  ssesuatu  yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu menjelang kematiannya dia berteriak tiga kali dengan masing-masing teriakan disertai satu kalimat.  Kami semua tidak paham apa maksudnya.”

“Apa saja kalimat yang diucapkannya?  Tanya Rasulullah.

“Pada masing-masing teriakannya, dia berucap kalimat “ Aduh, kenapa tidak lebih jauh, aduh kenapa tidak yang baru, aduh kenapa tidak semua,” jawab istri Sya’ban. 

Rasulullah SAW pun melantunkaan ayat yang terdapat surah  Qaaf  ayat 22:  Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”

“Saat Sya’ban ra dalam keadaan sakaratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah SWT.  Bukan hanya  itu,  semua ganjaran dari perbuatannya  diperlihatkan  oleh Allah. Apa yang  dilihat oleh Sya’ban ra dan  orang yang sakaratul maut  tidak bisa disaksikan yang lain. Dalam pandangannya  yang  tajam itu Sya’ban ra melihat suatu adegan dimana kesehariannya dia pergi pulang ke masjjd untuk shalat berjamaah lima waktu . Perjalanan sekitar tiga jam jalan kaki,  tentu itu bukan  jarak yang dekat. Dalam tayangan itu pula Sya’ban ra diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah-langkahnya  ke masjid,” ujar Rasululah. 

Dia melihat seperti  apa bentuk surge yang  dijanjikan sebagai ganjarannya.  Saat dia melihat  dia berucap “Aduh mengapa tidak lebih jauh” timbul penyesalan dalam diri Sya’ban ra, mengapa  rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih indah. dalam  penggalan kalimat  berikutnya Sya’ban ra melihat saat ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin.

Saat ia membuka pintu, berhembuslah angin dingin yang menusuk tulang.  Dia  masuk  ke  dalam rumahnya dan mengambil  satu baju  lagi untuk dipakainya. Dia memakai dua baju, Sya’ban  memakai pakaian yang bagus (baru di dalam dan yang jelek (butut) di luar.

Dia berpikir  jika kena debu tentu yang kena hanyalah baju yang luar  dan sampai  di masjid dia  bisa membuka baju luar  dan  shalat dengan  baju yang lebih bagus. Ketika dalam perjalanan menuju masjid dia menemukan seseorang yang terbaring kedinginan dalam kondisi mengenaskan. Sya’ban pun iba dan segera  membukakan baju yang paling luar lalu dipakaikan kepada orang  tersebut  kemudian  dia memapahnya  ke  masjid  agar  dapat melakukan  shalat Subuh bersama-sama.

Orang  itupun selamat dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan shalat berjamaah Sya’ban ra pun kemudian melihat indahnya surga yang sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut. Kemudian dia berteriak lagi  “Aduh!! Kenapa tidak yang baru” timbul lagi penyesalan dibenak Sya’ban  ra.  Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala besar, sudah tentu dia akan mendapatkan yang lebih besar jika dia memberikan pakaian yang baru.

Berikutnya, Sya’ban ra melihat lagi suatu adegan. Saat dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke dalam segelas susu. Bagi yang pernah ke Tanah Suci tentu mengetahui ukuran roti Arab (sekitar tiga kali ukuran rata-rata roti Indonesia). Ketika baru saja ingin memulai sarapan,  muncullah pengemis di depan pintu yang meminta sedikit roti karena sudah tiga hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal itu, Sya’ban ra merasa iba. Ia  kemudian membagi dua roti tersebut dengan ukuran sama besar dan membagi dua sus ke dalam gelas  dengan ukuran yang sama rata, kemudian mereka makan bersama-sama, kemudian mereka makan bersaama-sama.  Allah SWT kemuddiaan memperlihatkan  Sya’ban ra dengan surga yang indah.

Ketika  melihat itupun Sya’ban ra teriak lagi “Aduh kenapa tidak semua!”  Sya’ban ra kembali menyesal. Seandainya dia memberikan semua roti itu  kepada pengemis tersebut, pasti dia akan mendapat surga yang lebih indah. Masya  Allah, Sya’ban bukan menyesali perbuatannya melainkan menyesali mengapa tidak optimal.

Sesungguhnya pada suatu saat nanti, kita  semua akan mati, akan menyesal dan tentu dengan kadar yang berbeda. Bahkan ada yang meminta untuk ditunda matinya, karena pada saat itu  barulah terlihat dengan jelas konsekwensi dari semua perbuatannya di dunia. mereka meminta  untuk ditunda sesat karena ingin bersedekah. namun, kematian akan datang  pada waktunya,  tidak dapat dimajukan dan tidak dapat diakhirkan.

Kisah salah seorang dari para sahabat Rasulullah ini memberi kita pelajaran bagaimana kita dalam mencintai Allah. Kematian akan datang tanpa siapapun yang mengetahui, sudahkah kita persiapkan diri kita untuk bertemu dengan Allah?

Tidak ada komentar:

Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *